Kiprah budaya kaum Indo sebelum diaspora Orang_Indo

jmpl|300px|Di akhir abad ke-19 orang Eropah dan Indo banyak menyerap unsur budaya lokal dan melahirkan budaya Indisch, sebagai hibrida antara budaya Eropah (Belanda) dan berbagai budaya lokal Indonesia. Kebaya dengan potongan khas dan warna putih sering dikenakan oleh perempuan Eropah. Corak batik juga memiliki kekhasan motif tersendiri. Foto diambil 1888, koleksi Tropenmuseum Amsterdam.Kaum Indo memiliki ciri-ciri budaya percampuran dari kebudayaan Barat (Eropah) dan kebudayaan Timur (Indonesia atau Tionghoa). Percampuran budaya ini sedikit banyak berkaitan dengan derajat "ketercampuran" rasial masing-masing individu dan latar belakang etnis keluarga mereka. Hal ini membuat kelompok ini sukar didefinisikan, bahkan oleh anggotanya sendiri, sehingga mereka sulit menyatukan diri sebagai satu kekuatan politik. Situasi ini menjadi bencana bagi mereka ketika terjadi Perang Pasifik dan masa-masa awal Revolusi Kemerdekaan Indonesia.

Kaum Eurasia (Mesties) mendominasi penampilan fisik kelompok etnik ini. Sensus penduduk tahun 1930 menunjukkan bahwa sekitar 75% golongan Europeanen memiliki garis keturunan campuran. Sisanya adalah orang Eropah totok ("murni") serta orang kelompok etnik lain yang dianggap layak sebagai anggota golongan legal ini.[13] Kerumitan latar belakang rasial ini membentuk suatu rentang fenotipe (penampilan luar) yang luas, meskipun tidak semua anggota golongan orang Eropah mengidentifikasi diri sebagai etnik Indo, terutama dari kalangan trekkers (ekspatriat). Muncul kemudian berbagai istilah untuk menyebutkan derajat kepekatan warna kulit, seperti koffie met melk ("kopi susu"), kwart over zes (pukul enam kurang seperempat), half zeven ("pukul setengah tujuh"), bijna zeven uur ("hampir pukul tujuh"), hingga zo zwart als mijn schoen ("segelap warna sepatuku") yang paling "kelam"[15]. Dikenal pula di masyarakat julukan yang berkesan merendahkan, seperti "sinyo" atau "noni" diberikan kepada anak-anak Indo. Oleh masyarakat pribumi julukan ini diperluas bagi sebutan semua anak-anak golongan kulit putih.

Di kalangan Indo telah umum diketahui, semakin tinggi "derajat keeropaan" seseorang, semakin tinggi derajat sosialnya. Maka tidak mengherankan bahwa sebahagian besar berusaha mengidentifikasi diri sebagai orang Eropah. Kaum perempuannya bercita-cita untuk menikah dengan orang Eropah.[16] Aspek budaya lokal dianggap lebih "rendah" atau "kasar"[16]. Stratifikasi sosial bernuansa rasis ini sedikit banyak muncul dari asal usul orang Indo, yang kebanyakan adalah keturunan dari kebiasaan pergundikan meluas di kalangan pria Eropah pada abad ke-17 dan ke-18 akibat kurangnya perempuan Eropah. Orang-orang Mestizo dianggap sebagai "keturunan hubungan gelap". Kebanyakan mereka dibesarkan oleh ibu mereka dalam tradisi lokal, sehingga pendidikannya dianggap kurang, juga dalam kemampuan berbahasa Belandanya. VOC, sebagai penguasa, tampaknya juga tidak terlalu peduli dengan situasi ini. Namun justru masuknya unsur budaya lokal yang menjadi pembeda mereka dan orang Belanda pendatang, bahkan masih dipertahankan hingga akhir abad ke-20.

Kaum Indo digunakan oleh penjajahan Belanda sebagai "penyangga" kultural agar tidak terjadi pergesekan yang menyebabkan kekacauan politik. Nasib yang sama dialami oleh kaum Tionghoa-Indonesia, yang menjadi "bemper" ekonomi jajahan. Mereka dipandang rendah oleh kaum Belanda totok, tetapi juga memandang rendah kalangan pribumi yang dianggap tidak cakap dan malas. Orang Belanda totok memiliki ejekan bagi orang Indo: kata "Indo" dianggap sebagai singkatan dari indolent (pemalas)[16]. Orang Eropah totok secara sosial dan legal berposisi lebih tinggi daripada mereka yang berketurunan campuran. Walaupun pada beberapa hal mereka berbaur karena orientasi budaya yang sama, dalam banyak hal lainnya (seperti makanan dan kecenderungan estetik) kedua kelompok ini cukup berbeda. Hal ini terlihat nyata ketika terjadi diaspora orang Eropah-Indonesia ke Belanda seusai Perang Dunia Kedua. Orang Belanda banyak yang tidak siap menerima kehadiran orang-orang Indo sehingga sebahagian dari mereka beremigrasi ke negara ketiga, seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, atau Selandia Baru.[17]

Garis politik sebahagian besar kalangan Eropah-Indonesia masa penjajahan cenderung pada status quo: mereka menghendaki kekuasaan Belanda di Hindia Belanda. Hal ini dilatarbelakangi oleh kecenderungan sosial seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Namun, ada sebahagian kecil yang menghendaki pemerintahan sendiri. Kelompok terakhir inilah yang menjadi salah satu inti pergerakan kemerdekaan Indonesia. Indische Bond (1899) dan Insulinde dapat dianggap mewakili kelompok yang pro-pemerintahan sendiri (tidak di bawah Belanda). Sementara itu, Indo-Europeesch Verbond (IEV, 1919) dapat dianggap sebagai organisasi kaum Indo yang berorientasi ke Belanda.[18] Partai Hindia (Indische Partij, 1911) dapat dianggap sebagai artikulasi politik paling radikal mereka pada awal abad ke-20, karena organisasi inilah yang pertama kali terang-terangan menyatakan ide pro-independen (pemerintahan sendiri untuk Indiers). Sayang sekali bahwa organisasi ini kurang mendapat banyak dukungan dan berumur pendek karena segera dibungkam pemerintah kolonial.

Hubungan yang intens dengan budaya lokal banyak membawa pengaruh kultural dalam kehidupan masyarakat Eropah-Indonesia, dan sebaliknya. Van der Veur (1968) membahas banyak kebiasaan (customs) kalangan Indo[15]. Ciri khas yang utama adalah hubungan kekeluargaan yang kuat. Orang Indo gemar berburu, juga berlatih pencak silat (terutama dari kalangan yang akrab dengan masyarakat lokal) dan bermain layang-layang laga.

Kebanyakan dari mereka adalah penganut agama Kristen, namun mempercayai pula berbagai takhyul lokal dan juga mempraktikkan selamatan/kenduri untuk memperingati suatu tahapan kehidupan. Kalangan Indo pauper (mereka yang hidup dengan kalangan pribumi) bahkan mengenal guna-guna.

Bahasa yang digunakan oleh kalangan Indo pada masa VOC adalah bahasa pijin Portugis yang bercampur dengan bahasa Melayu Pasar. Hal ini diketahui dari suatu catatan seminari dari paruh kedua abad ke-18. Masuknya imigran dan pekerja perkebunan dari Belanda pada abad ke-19 mendorong menguatnya pemakaian bahasa Belanda, namun terjadi banyak "pelanggaran" gramatika oleh mereka, seperti pengalihan fonem, pencampuran dengan kata-kata atau struktur bahasa Melayu, dan pengabaian gender kata. Meningkatnya kesadaran politik akan etnik ini bahkan mendorong tokoh Indo, Ploegman, untuk menjadikan bahasa Belanda varian Indisch ini sebagai bahasa "yang menyatukan berbagai kelompok masyarakat dalam kehidupan budaya sehari-hari".

Dalam dunia sastra, beberapa karya tulis bermutu dihasilkan oleh penulis-penulis seperti C.F. Winter, van der Tuuk, Ernest Douwes Dekker, Ucee (S.H. Coldenhoff), Louis Couperus, Hans van de Wall, dan E. du Perron. Dari periode setelah Perang Dunia Kedua muncul nama-nama seperti J. Boon (Vincent Mahieu/Tjalie Robinson), Rob Nieuwenhuys, dan Gertrudes Johannes Resink (puisi).

Di bidang seni lukis Jan Toorop adalah nama yang paling menonjol. Pelukis-pelukis Indo adalah pendukung aliran lukisan Mooi Indiƫ/Indonesiƫ yang menggambarkan romantisme alam dan kehidupan sehari-hari Indonesia. Walter Spies (walaupun ia adalah totok namun amat menyukai budaya Bali) dikenal sebagai pengembang aliran lukisan dekoratif Bali yang khas.

Orang Indo dikenal berbakat di bidang seni musik dan seni pertunjukan. Dalam seni musik orientasi ke musik barat cukup kental, bahkan boleh dikatakan kalangan Indo kelas menengah dan bawah adalah duta musik barat bagi masyarakat non-Eropah di Hindia Belanda/Indonesia. Bentuk musik keroncong, berakar dari musik Portugis, dilestarikan oleh kaum Indo dan memperoleh gaung yang kuat di seluruh lapisan masyarakat di awal abad ke-20 melalui pertunjukan sandiwara komedi stambul. Komedi stambul diperkenalkan oleh August Mahieu, seorang Indo yang menghimpun beberapa orang Indo lainnya untuk menyelenggarakan teater hibrida: bergaya Eropah tetapi dengan kostum a la Timur Tengah. Pertunjukan ini populer di semua kalangan masyarakat (bawah) Hindia Belanda, dan melahirkan berbagai epigon yang juga kemudian populer. Kalangan Indo juga kemudian yang memperkenalkan musik jazz di Hindia Belanda. Jack Lesmana (Jack Lemmers), seorang Indo yang menjadi tokoh utama jazz Indonesia, telah mengenal bentuk musik ini sejak masa kecilnya. Pada masa popularitas rock'n roll, orang-orang Indo juga menjadi motornya. Kebijakan anti-Barat Sukarno membuat musik ini berhenti berkembang di Indonesia, tetapi tetap berkembang di Eropah, seiring dengan diaspora kaum Indo. The Tielman Brothers adalah grup musik yang paling menonjol dari kalangan Indo dan sangat populer di Eropah.

Dari segi boga, seni masak Eropah di tangan kaum Indo menjadi kaya rempah-rempah dan memiliki cita rasa yang khas. Orang Indo sangat menyukai masakan lokal, bahkan menikmati rujak[16]. Rijsttafel, suatu bentuk penyajian masakan khas Indisch, dikembangkan dari bentuk penyajian dalam upacara selamatan. Kue-kue khas juga muncul, seperti klappertart, kue lapis legit, dan bika ambon, selain juga kue bolu. Perkembangan seni boga ini berkaitan pula dengan kegemaran orang Indo untuk berpesta.

Dari sisi busana, muncul pada abad ke-19 kebaya yang khas dipakai perempuan Eropah; bahkan kemudian muncul batik Belanda, batik dengan motif-motif pengaruh Eropah[19]. Kebaya Belanda ini mengalami revivalisasi pada masyarakat Indonesia modern.

Rujukan

WikiPedia: Orang_Indo http://www.asaa2000.unimelb.edu.au/papers/wiseman.... http://www.asaa2000.unimelb.edu.au/papers/wiseman.... http://www.aboutbatik.com/backtobatik.php http://www.latimesmagazine.com/2011/02/the-long-wa... http://link.springer.com/article/10.1007/BF0303221... http://dispatch.opac.d-nb.de/DB=1.1/LNG=EN/CMD?ACT... http://prpm.dbp.gov.my/ http://prpm.dbp.gov.my/Cari1?keyword=contoh&d=3762... http://www.kiemnet.nl/nieuws/2006/04/Indische-Nede... http://www.nidi.knaw.nl/Content/NIDI/output/report...